Kebutuhan cabai menjelang hari raya melonjak, pasokan kurang. Apa solusinya selalu dengan impor?
Hujan di Bulan Juni. Begitu judul puisi karya Sapardi Djoko Damono yang sangat cocok menggambarkan kondisi sebenarnya cuaca di berbagai wilayah Indonesia, yang terus berlanjut hingga kini, Juli. Cuaca tidak bisa diprediksi. Terkadang hujan masih terus turun, bergantian dengan panas terik sepanjang hari. Bahkan tidak jarang dalam satu hari, panas dan hujan bergantian.
Bagi petani cabai, kondisi cuaca tidak menentu seperti saat ini sangat tidak menguntungkan. Butuh ekstra perlakuan bagi tanaman agar tetap bisa dipanen dan memenuhi kebutuhan pasar. Dadi Sudiana, Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) mengakui, petani di beberapa sentra produksi banyak yang mengalami gagal panen karena kalah bertarung dengan cuaca ekstrem.
Pasokan cabai berkurang tatkala kebutuhan pasar justru sedang meningkat memasuki bulan Ramadan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Dalam rangka mengamankan stok dan mencegah terjadinya lonjakan harga yang luar biasa, keputusan impor pun diluncurkan. Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk sekitar 9.000 ton cabai dari Vietnam dan China.
Serangan Hama Penyakit
Keputusan impor cabai ini sangat disayangkan Dadi. “Kurangnya pasokan sehingga harga naik bukan karena petani tidak menanam, tapi memang karena gagal panen. Saat ini di tingkat petani harga sekitar Rp15 ribu-Rp20 ribu/kg. Konsumen mengeluh, tapi petani bukan mengeluh lagi, menderita! Ini yang harus dipahami para pembuat kebijakan. Impor hanya meng-cover konsumen, sama sekali tidak membantu petani,” tegas Dadi melalui telepon 2 Juli silam.
Serangan hama dan penyakit yang meningkat menjadi penyebab utama kegagalan panen. Menurut Darmawan Sandi Susilo, Brand Manager PT Bina Guna Kimia, produsen dan distributor pupuk dan pestisida di Jakarta, serangan penyakit sangat dominan muncul pada musim peralihan seperti ini.
“Cendawan Pythium, bakteri layu Pseudomonas, cendawan layu Fusarium, hingga yang paling banyak adalah serangan patek atau antraknosa. Sementara hama yang biasa timbul adalah aphis (kutu daun), thrips, dan yang paling bahaya adalah kutu kebul,” papar Wawan, sapaan akrabnya, melalui surat elektronik.
Antisipasi
Tidak ada yang salah dengan pilihan menanam cabai saat musim peralihan. Namun, perlakuan budidayanya memang harus diperhatikan. Mulai dari pemilihan benih unggul, asupan nutrisi tanaman yang tepat, hingga pengendalian hama dan penyakit, memang membutuhkan perlakuan yang lebih intensif dari musim biasanya.
“Yang pertama, tanahnya harus sehat. Kemudian bedengannya harus tinggi, yang biasanya hanya 40 cm mungkin bisa dijadikan 60 cm, dan jarak tanam dilebarkan. Pokoknya, sanitasi penting!” tegas Dadi.
Wawan menambahkan, pemilihan benih yang toleran terhadap bakteri sangat dianjurkan. Selain itu, saat panen perlu dihindari waktu hujan atau kondisi basah. “Kondisi buah yang basah akan mempercepat pembusukan saat pengiriman,” jelasnya.
Teorinya, jika antisipasi sejak dini dilakukan, kemungkinan gagal panen menurun. Kebutuhan pasar pun terpenuhi, lonjakan harga tidak perlu terjadi, impor pun seharusnya dapat dihindari.
Renda Diennazola
Pintar-Pintar Pilih Benih Antisipasi dini menghadapi musim yang tidak menentu dapat dimulai dari benih. Untuk memperoleh hasil optimal, memilih benih bermutu menjadi langkah penting. Seperti benih cabai keriting Serambi dan benih cabai besar Perwira yang diproduksi PT Agri Makmur Pertiwi, Surabaya. Nusa Bela Sanitasi Penting Mula-mula tiga hektar lahannya yang terletak di Desa Cibodas, Kec. Lembang, Kab. Bandung, Jabar, tidak dikelola sendiri. “Biasanya disewakan ke warga sekitar sini. Karena saya juga hobi, jadi saya tanam setengahnya,” cetus Bela, sapaan akrabnya. Cabai menjadi pilihan pria yang berprofesi sebagai Engineering Consultant ini. Mengenal benih cabai keriting Serambi dari petani tetangganya, ayah dua anak ini mengaku memilih benih ini karena keseragaman tumbuhnya. Selain itu, umur panen perdananya pun lebih cepat, yaitu sekitar 100 hari setelah tanam (HST). Sementara benih cabai lain umumnya baru dapat dipanen pada 140 HST. “Kalau untuk harga benih masih bisa dibilang terjangkaulah, sekitar Rp85 ribu-Rp90 ribu/pak. Yang lain sudah di atas Rp100 ribu. Dari satu pak itu, daya kecambahnya bisa sampai 90%,” tambah Sarjana Teknik Sipil dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini. Mengandalkan potensi benih saja memang tidak cukup. Dengan sanitasi yang baik di lahannya, menurut Bela, tanaman cabainya cenderung toleran terhadap serangan penyakit. “Ada beberapa tanaman yang terserang layu (bakteri). Tapi di lahan ini paling hanya sekitar 10%-15% yang terserang layu. Sejauh ini masih menguntungkan dari segi budidaya,” terang pria 51 tahun ini. Eden, Kelas Super Peralihan dari musim kemarau ke musim hujan diakui Eden, petani di Kp. Cicalung, Ds. Wanunharja, Kec. Lembang, Bandung, menjadi saat-saat sulit dalam budidaya cabai. Kondisi lembap menjadi tempat yang sangat baik bagi pertumbuhan cendawan penyebab penyakit. “Kelebihan benih Serambi, dia kuat terhadap layu. Kalau yang lain kena layu, tanaman saya nggak kena,” beber Eden yang menggunakan benih Serambi sejak 2011 ini. Hasil panennya pun tidak mengecewakan. Menurut suami Lia Wariyati ini, 1,5 kuintal cabai bisa diperolehnya sekali panen dari luas lahan sekitar 700 m2. Sementara panennya bisa berlangsung hingga 20 kali dengan selang seminggu. Eden menambahkan, produksi maksimal didapatkannya pada panen ketujuh. “Pasar menerimanya bagus. Masuk kelas super, harganya pasti lebih mahal dari yang lain,” ucapnya senang. Cabai yang dipanen Eden memang cenderung lebih padat dibandingkan cabai yang berasal dari varietas lain. Walhasil, umur simpannya pun lebih panjang dan tidak mudah patah dalam pengangkutan. Pun demikian dengan batang dan tangkai tanaman yang kuat. “Walaupun tanamannya rapat begini, waktu kita lewat untuk nyemprot pun dia tidak cepat patah,” pungkas Eden.
Dadan, Tidak Layu Tidak berbeda dengan cabai keriting, salah satu masalah yang harus dihadapi petani cabai besar di tengah cuaca ekstrem adalah serangan penyakit layu fusarium. “Ini agak tahan layu. Memang tetap ada yang terserang. Tapi dari 4.500 tanaman misalnya, masih ada 3.000 tanaman yang tidak layu. Kalau benih lain sebaliknya, sisanya hanya 1.500 tanaman,” kata petani cabai Kp. Cibedug, Ds. Cikole, Kec. Lembang, Bandung, ini. Memang, menurut Dadang, ukuran cabai besar Perwira jika dibandingkan cabai besar lainnya belum sesuai standar. Namun, dari sisi produksi, Perwira juaranya. Sekitar 750 g hingga 1 kg per tanaman bisa didapat sekali panen. Bahkan di pasaran harganya lebih tinggi ketimbang cabai besar lainnya. “Selisihnya bisa Rp1.500/kg karena warna kulitnya bagus, buahnya juga padat,” terang pria 36 tahun ini. M. Arif Tri Cahyo, Hemat Pupuk dan Pestisida Tidak hanya peningkatan produksi, kemungkinan penurunan biaya produksi pun membuat petani bergairah. Itulah yang dirasakan Arif, petani cabai besar di Dsn. Kebonan, Ds. Condro, Kec. Pasiran, Kab. Lumajang, Jatim. Memilih benih cabai besar Perwira, Arif mendapatkan keduanya. “Pupuk yang kita pakai sedikit, kalau pakai benih yang lain bisa lebih. Pestisida juga lebih irit karena dia tahan penyakit. Kalau biasanya daun gampang terkena thrips, Perwira tidak kena. Perawatannya lebih mudah dibandingkan benih lain. Kalau musim seperti ini kita masih untung. Tapi yang lainnya ngepres (pas-pasan),” papar Arif saat ditemui AGRINA. Produksinya pun tinggi. Menurut Arif, saat ini hasil panennya bisa mencapai 1-1,5 kg/tanaman, dan bisa dipanen hingga 20 kali. Padahal, dengan benih lain hasil panennya hanya mentok di kisaran 8 ons/tanaman. “Apalagi warnanya sangat bagus, sangat cocok untuk industri,” tambahnya.
Bhakti Sutoyo, Penuhi Pasar Industri Peluang pasar industri yang masih cukup besar ditangkap Bhakti, Manajer Koperasi Hortikultura Sri Lestari, di Kec. Pasiran, Kab. Lumajang, Jatim, sejak 2009. Menurutnya, salah satu kunci yang dibutuhkan untuk masuk pasar industri adalah kontinuitas produksi. “Kita harus bisa atur penanaman agar kontinuitas terjaga. Dulu tanamnya tidak kontinu, hanya mencari musim-musim terbaik. Itu bermasalah buat kita karena kita kesulitan benih. Kalau sekarang, bisa tanam berapa pun jumlahnya,” tegas Bhakti. Industri pengolahan umumnya membutuhkan cabai besar dengan warna yang menarik. Kedua persyaratan tersebut dapat dipenuhi benih Perwira. “Kita coba setahun yang lalu hasilnya bagus. Tahan virus yang menjadi momok bagi petani, juga antraknosa. Performa tanaman cukup bagus dengan harga kompetitif. Biaya produksi minimal, hasilnya maksimal,” tambahnya. Bhakti dapat memanen sekitar 0,8 kg/tanaman dalam kondisi normal, atau sekitar 0,5 kg/tanaman pada kondisi cuaca ekstrem seperti saat ini. Dengan hasil tersebut, 70% cabai dari kelompok taninya masuk pasar industri, dan sisanya ke pasar segar. Renda Diennazola, Indah Retno Palupi (Surabaya) |