Menjelang bulan puasa dan Lebaran, permintaan nata de coco melonjak. Tak hanya itu, penjualan olahan kelapa lainnya, seperti sirup, pun menanjak.
Saat ini sejumlah produk olahan kelapa beredar luas di tengah masyarakat dan tampaknya digemari. Ada nata de coco dengan banyak ragam, atau ada juga sirup kelapa. Menjelang bulan puasa dan Lebaran, produk-produk jenis ini cenderung meningkat penjualannya.
Lihat saja berbagai kemasan nata de coco di sejumlah supermarket atau pasar-pasar tradisional. Di pasar-pasar tradisional, nata de coco yang beredar dibuat dalam kemasan yang lebih sederhana. Sedangkan di supermarket, nata de coco yang dipajang tampak dibungkus kemasan lebih menarik. Paling tidak ada tiga merek nata de coco yang berasal dari produsen yang berbeda-beda, yaitu Kara (produksi Grup Sambu, Riau), Wong Coco (PT Keong Nusantara Abadi, Lampung), Inaco (PT Niramas Utama Food & Beverages Industry, Bekasi, Jawa Barat).
Pemanfaatan Air Kelapa
Salah satu produsen berbagai produk nata de coco adalah PT Niramas Utama Food & Bevarages Industry dengan merek Inaco. “Produk kami, antara lain, Inaco Nata de Coco, Jelly Inaco, dan Aloevera Inaco. Sejalan kian cerdasnya masyarakat, nata de coco yang baik untuk pencernaan karena kandungan seratnya juga makin besar peminatnya,” ujar Erijanto Djajasudarma, Direktur PT Niramas yang berlokasi di kawasan Jl. Raya Bekasi Tambun Km 39.5, Bekasi, Jawa Barat.
Satu lagi produsen berbagai produk olahan kelapa adalah UD Sumber Rejeki di kawasan Sukmajaya, Depok, Jabar. Mereka tak hanya memproduksi nata de coco, tapi juga bermacam produk olahan kelapa lainnya, seperti sirup kelapa, kecap kelapa dan sejumlah bahan perawatan kecantikan macam sabun atau pelembut kulit. “Dengan membuat nata de coco, sebenarnya masyarakat memanfaatkan air kelapa yang terbuang. Daripada dibuang, lalu mencemari lingkungan, kita proses jadi nata de coco. Jadi, membantu memanfaatkan limbah jadi produk ekonomis,” papar Wisnu Gardjito, pemilik UD Sumber Rejeki.
Namun Eri, sapaan akrab Erijanto, mengungkapkan, Niramas tak lagi membuat nata de coco dari bahan air kelapa. “Kita punya nata itu beda. Nata de coco kami bahan dasarnya, yaitu tempat makan bakterinya bukan lagi air kelapa, tapi santan. Jadi, lebih bersih, lebih bening. Itu teknologi,” jelasnya.
Dengan memakai bahan dasar santan, tambah Eri, mereka tak memerlukan bahan aditif lagi. Juga tidak perlu menambahkan bahan makanan, yakni nitrogen, bagi bakteri. Memang, bakteri membutuhkan nitrogen untuk pertumbuhan. “Jadi produksi kami tak ada residunya, sehat, dan karena dari kelapa tentu juga aman,” imbuhnya.
Perkembangan bisnis nata de coco di Indonesia, menurut Eri, dimulai pada sekitar 1990-an. Ada sejumlah perusahaan yang memproduksi nata de coco. Ketika itu, Niramas memproduksi nata de coco untuk pasar ekspor, khususnya ke Jepang, sebagai konsumen nata de coco terbesar di dunia. “Baru pada 1995 kami masuk pasar domestik. Indonesia ‘kan penduduknya besar, 230-an juta orang. Dan secara tradisional ‘kan sudah makan kelapa dan sari kelapa. Sejak 1980-an orang-orang sudah bikin, tapi home industry, kecil-kecil,” ucap Eri lagi.
Ke depan, Eri melihat permintaan terhadap nata de coco masih akan bertambah besar. Setiap kali menjelang puasa dan Lebaran saja, permintaan produk mereka naik drastis. Soal bahan baku, Eri mengaku tak khawatir lantaran potensi kelapa negeri teramat besar, alias terbesar di dunia.
Pemasok Nomor 1 di Dunia
Pemanfaatan potensi kelapa ini sesuai dengan semangat yang diusung komunitas Green Coco Island bentukan Wisnu beberapa tahun lalu. “Indonesia adalah pemasok kelapa dunia yang terbesar, sebanyak 45%. Data yang sementara ini beredar, kita memiliki tanaman kelapa seluas 3,8 juta hektar (ha). Tak ada yang sebesar kita. Filipina, di urutan kedua, hanya 3,1 juta ha. Disusul India, dengan luas 1,1 juta ha,” tegas Wisnu.
Jadi, Wisnu pun memastikan bahan baku sangat melimpah. Jajaran tanaman kelapa di negeri ini berbaris-baris dari Sabang sampai Merauke. “Yang terbesar potensinya Sumatera, 35%. Baru disusul potensi dari Sulawesi, Jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,” urainya.
Betapa besar hasil yang didapat negeri ini jika mampu memanfaatkan potensi kelapa, coba digambarkannya. Kalau saja potensi kelapa yang berjajar dari Barat sampai ke Timur tadi dapat diolah menjadi bermacam produk olahan kelapa, yang jumlahnya sekitar 1.600 produk turunan, maka akan diperoleh pendapatan sebesar Rp4.000 triliun setiap tahun. “Itu artinya sekitar tiga kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,“ tandasnya.
Guna mendorong masyarakat kalangan menengah ke bawah memanfaatkan potensi itu, Wisnu pun membentuk klaster-klaster pengolahan kelapa di berbagai penjuru di Indonesia. Tak hanya mampu menghasilkan nata de coco, berbagai klaster tadi sedikitnya mesti mampu memproduksi 15 jenis produk olahan. Bahkan, di Garut, Jawa Barat, Wisnu mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Agro-industri Kelapa. “Setelah lulus, mereka bertugas mengembangkan agroindustri kelapa,” ujarnya.
Permintaan Besar
Untuk nata de coco, Wisnu sendiri sudah memproduksinya pada sekitar 1995. Kendati belakangan ia lebih cenderung kepada produk olahan kelapa lainnya. Persoalannya sepele, sebagai industri rumahan, mereka sering kesulitan membuang limbah seusai memanen nata de coco. “Namun, sebetulnya peluangnya bagus. Permintaan nata de coco lebih banyak dari produksi. Itu sebabnya, produksi dari Thailand dan Malaysia mulai masuk ke pasar domestik kita,” imbuhnya.
Untuk membuktikan ucapannya, Wisnu mencoba membuat hitung-hitungan terkait pembuatan nata de coco. “Sebanyak satu liter air kelapa itu setara dengan satu ons nata de coco. Hitung saja, harga satu ons nata de coco Rp2.500, sedangkan air kelapa buangan hanya sekitar Rp200,” papar pria yang juga staf pengajar Akademi Pimpinan Perusahaan, Kementerian Perindustrian ini.
Berminat terjun ke bisnis nata de coco? Atau olahan kelapa lainnya, mungkin? Potensinya teramat besar!
Syaiful Hakim, Windi Listianingsih
Nikmati
Segarnya Bisnis Kelapa Serat sehat
yang umumnya berasal dari air kelapa itu sukses menyegarkan rekening pelaku
usaha. Dari skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga industri besar
pun berbagi kesegaran bisnis air kelapa.
Wisnu
Gardjito, Pemilik UD Sumber Rejeki Berkah
dari Sirup Kelapa Dikaruniai
potensi alam luar biasa, hamparan kelapa sekitar 3,8 juta ha, alangkah
meruginya bila rakyat Indonesia tak mampu mendapatkan manfaat. Setidaknya
inilah yang mendorong Wisnu Gardjito terus bergelut dengan olahan kelapa. Tak
hanya nata de coco, belakangan jenis produk yang dihasilkannya terus bertambah. Sebut saja
rangkaian produk berikut ini. Ada sirup kelapa, virgin coconut oil (VCO), selai kelapa, sambal kelapa, sabun
herbal, body lotion dan masih banyak
lagi. Namun, yang belakangan ini seolah menjadi sang bintang justru sirkel
alias sirup kelapa. “Memang, tiap menjelang bulan puasa dan Idul fitri, kami
nyaris kewalahan menerima pesanan sirkel, bisa naik 300%,” ujar Wisnu. Padahal, Wisnu
dan istrinya, Vipie, yang menjabat Direktur UD Sumber Rejeki, cukup kerepotan
jika harus memproduksi sirkel dalam jumlah besar. Soalnya, untuk memproduksi
sirkel, Wisnu harus benar-benar mendapatkan bahan baku kelapa yang bagus. Selama ini ia mendatangkan kelapa-kelapa dari sejumlah
sentra kelapa, seperti Garut, Ciamis, Tasikmalaya, di Jawa Barat, serta dari
Padang dan Palembang di Sumatera. “Kami cukup keteteran memproduksi
sirkel. Sebab,
untuk membuat sirup kelapa itu bahan bakunya harus air kelapa segar,”
jelasnya. Kedua, kelapanya pun harus
yang terpilih. Itu artinya tidak busuk dan tidak cacat. Air kelapa pun ada dua,
yang manis dan asin. Wisnu selalu memilih yang rasa airnya manis. Itu sebabnya, pada hari-hari biasa, ia hanya bisa
memproduksi 500-an botol sirkel. Untuk menghasilkan 500 botol tadi,
yang masing-masing bervolume 630 ml, ia membutuhkan 2.500 – 3.000 butir kelapa.
Soalnya, sebutir kelapa hanya berisi sekitar 300 ml. Tapi, bisa
dibayangkan kesibukan Wisnu dan karyawannya bila Lebaran datang menjelang.
Namun, kesibukan itu tak hanya terjadi di kawasan Sukmajaya, Depok, yang
menjadi lokasi Wisnu memproduksi sirkelnya. Di berbagai lokasi kluster
pengolahan kelapa yang menjadi mitra mereka pun kesibukan meningkat drastis. Namun, memang
sejatinya ada alasan kuat mengapa permintaan atas sirkel cenderung meningkat.
Sebab, sirup ini menyimpan beberapa kelebihan dibandingkan sirup yang banyak
beredar. Misalnya, kesegarannya yang tetap terjaga. “Silakan lihat ke dalam botol. Pada bagian permukaan sirup yang berada paling atas masih
bisa dilihat butiran-butiran protein. Bila dikocok, butiran tadi kembali
menyatu dengan air. Itu tanda sirup masih murni, tanpa bahan pengawet dan
pengental,” ungkap pria kelahiran Jakarta, 6 Mei 1960 ini. Karena masih
murni, air sirup tadi masih berkhasiat khas air kelapa segar. Yakni, kemampuan
mendetoksifikasi (menyedot racun) dan sebagai cairan isotonik. “Artinya,
kandungan di dalamnya, seperti mineral, protein, dan asam amino, paling mirip
darah manusia. Jadi saat meminumnya, kita terhidrasi kembali,” paparnya. Ada satu
keuntungan lagi, yakni dari sisi ekonomi. Jika membeli satu botol, baik yang
seharga Rp25 ribu (gula sukrosa) atau Rp30 ribu (gula fruktosa), lantaran satu
botol bisa jadi 20 gelas, kemudian dijual seharga Rp3.000, tentu bisa diraih
Rp60 ribu. Keuntungan 100%! Erijanto
Djajasudarma, Direktur PT Niramas Utama Food & Bevarages Industry Makanan
Sehat Anak Indonesia Bermula dari
ketertarikan mengisi permintaan pasar konsumen Jepang, PT Niramas Utama Food
& Beverages Industry, produsen Inaco nata de coco, jelly Inaco, dan
aloevera Inaco, pun membuat minuman sehat berbahan baku nata de coco. Pada awal
1990-an itulah Erijanto Djajasudarma, Direktur PT Niramas Utama Food &
Bevarages Industry mengekspor nata de coco siap santap. Penolakan produk pun
sempat dialami tapi tidak menyurutkan langkah Eri, begitu ia disapa, menjajakan
nata de coco ke negara pengonsumsi sari kelapa terbanyak di dunia itu. Di Indonesia
sendiri, sambung Eri, nata de coco sudah banyak dipasarkan oleh masyarakat sejak
1980-an dalam bentuk kemasan sederhana di wadah plastik kecil seperti es
kebo/mambo. Melihat peluang tersebut, Eri memantapkan langkah menggebrak pasar nata
de coco dalam negeri dengan merek Inaco. “Kita ini industri pertama yang
mengemas secara modern sari kelapa untuk pasar dalam negeri. Jadi kita pakai
plastik yang berdiri, stand pouch,
itu pertama kali kita yang kenalin di pasar Indonesia,” ujarnya kepada AGRINA. Terjun ke
bisnis minuman sehat ini, papar Eri, juga sesuai dengan tekad pemerintah untuk
mencerdaskan bangsa. Tentu lebih baik mencegah penyakit daripada mengobati.
“Ini untuk jangka panjang ya. Kita lebih fokus supaya masyarakat menjaga hidup
sehat. Pilih nata de coco karena kita belajar dari Jepang. Kita lihat di sana
makanannya sehat-sehat dan orang-orang berumur panjang,” imbuhnya. Lelaki
berkacamata itu menjelaskan, Niramas tidak lagi menggunakan air kelapa untuk
membuat nata de coco melainkan dengan santan kelapa. Air kelapa selain tidak
mudah dijaga higienitasnya juga masih memerlukan tambahan nutrisi sedangkan
santan kelapa lebih terjamin mutunya karena diolah sendiri dan tidak memerlukan
tambahan nutrisi. “Moto kita, Inaco makanan
sehat untuk anak Indonesia. Anak itu berarti orang Indonesia. Jadi semua yang
keluar dari Inaco harus sehat. Dari pemilihan bahan baku, kemasan, semua
memenuhi standar Indonesia dan internasional,” urainya. Sementara, hasil
sampingan nata de coco berupa sabut, batok, dan ampas kelapa diambil oleh
industri yang membutuhkan sehingga tidak ada limbah terbuang. Windi
Listianingsih, Syaiful Hakim