Kamis, 4 Juli 2013

Perlu Corn Belt Untuk Pasokan Jagung

Kapasitas dan sebaran pabrik pakan di Indonesia, sebaran sentra produksi jagung, dan kecenderungan meningkatnya kebutuhan jagung untuk industri pakan, diperlukan pengembangan corn belt (sabuk daerah produksi jagung).  Corn belt diharapkan bisa memasok kebutuhan jagung untuk pabrik-pabrik pakan tersebut.

Menurut data Asosiasi Produsen Pakan Ternak dan Akuakultur Indonesia (GPMT), produksi pakan ternak dan akuakultur terus meningkat, sehingga kebutuhan jagung pun naik. Hal ini mengemuka dalam seminar nasional bertajuk Pengembangan Corn Belt Untuk Pakan di Indonesia yang diadakan oleh Tabloid AGRINA, Kamis, (4/6) di Menara 165 Convention Center, Jakarta.

Tahun lalu, produksi pakan sekitar 13,8 juta ton dengan kebutuhan jagung pakan sekitar 6,9 juta ton (29%-nya berasal dari jagung impor). Pada 2013, diperkirakan kebutuhan jagung sekitar 7,73 juta ton untuk produksi pakan yang mencapai 15,46 juta ton (pakan ternak sekitar 91,3% dan pakan akuakultur 8,7%).

Ketua Umum Dewan Jagung Nasional Fadel Muhammad, pengembangan corn belt akan membuat industri jagung nasional lebih efisien, sehingga daya saingnya meningkat. “Selain itu, stakeholder mudah melakukan bisnis dan alat serta mesin industri jagung akan berkembang,” tegas Fadel.

Sementara itu, Fathan A. Rasyid Direktur Budidaya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan menegaskan, memang, guna menjamin ketersediaan jagung untuk industri pakan ternak perlu “dedicated land” (corn belt) untuk produksi jagung.

Untuk melaksanakan hal ini, tambah Anggoro, perlu diadakan contract farming yang dilaksanakan antara industri dan koperasi, kelompok tani, atau pemerintah daerah. “Contract farming ini meliputi jaminan produksi, jaminan harga dan jaminan kualitas,” tandas Fathan A. Rasyid.

Menurut Fathan A. Rasyid, industri harus ikut membina peserta contract farming, baik secara langsung maupun melalui pihak ketiga. “Pengelolaan agribisnis jagung di corn belt harus terpadu hulu-hilir,” ujarnya.

Diakui, Koeshartono, Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia, ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan produksi jagung. Pertama, adanya kebijakan subsidi pupuk dari pemerintah yang meringankan biaya petani dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi. Kedua, pupuk yang digunakan petani harus berkualitas. “Yang ketiga adalah penggunaan pupuk secara berimbang sesuai rekomendasi,” papar Koeshartono.

Saat ini, di lapangan petani mengeluhkan keterbatasan pupuk di kios-kios dan harganya yang di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Untuk mengatasi masalah itu, perlu ada pengamanan stok yang diatur sesuai  Permendag Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013. “Juga harus diberikan ganti rugi bila harga di atas HET, dengan menunjukkan bukti tentunya,” tandasnya.

Dalam menghadapi tantangan kebutuhan pupuk yang terus meningkat, termasuk guna memenuhi upaya pembentukan corn belt ini, PT Pupuk Indonesia saat ini memiliki kapasitas terpasang sebagai berikut. Produksi pupuk urea sebanyak 8 juta ton tiap tahun, pupuk NPK 3,55 juta ton, dan pupuk ZA sebanyak 750 ribu ton. “Sedangkan SP-36 sebanyak 510 ribu ton dan pupuk organik 1,2 juta ton,” urai Koeshartono.

Tri Mardi Rasa, Syaiful Hakim, Renda Diennazola, Windi Listianingsih, Ratna Budi Wulandari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain