Menuju pencapaian target produksi 40 juta ton CPO (Crude Palm Oil) pada 2020 mendatang, upaya peningkatan produksi dan produktivitas terus digenjot. Sawit memang dikenal sebagai tanaman yang tidak rewel dalam budidaya, tapi butuh biaya produksi yang cukup tinggi.
Pupuk, menjadi satu faktor penting dalam budidaya sawit, sekaligus mengambil porsi biaya paling besar. Tidak kurang dari 60% dari biaya pemeliharaan tanaman sawit dialokasikan untuk pemupukan. Bahkan di Malaysia, biaya pemupukan mengambil porsi minimal 70% dari total biaya produksi. Karena itu, manajemen pemupukan yang baik akan sangat membantu dalam efisiensi biaya produksi kelapa sawit.
Manajemen Pemupukan
Kelapa sawit dikenal sebagai tanaman yang rakus hara. Menurut Achmad Fathoni, Senior Manager Research, PT Salim Ivomas Pratama, Tbk., sawit memiliki kemampuan yang paling baik dalam mengubah energi sinar matahari menjadi biomassa dan minyak nabati dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya. Untuk melangsungkan proses perubahan energi inilah dibutuhkan pasokan unsur hara dalam jumlah besar yang diperoleh dari tanah dan pupuk.
Untuk memanen satu ton tandan buah segar saja misalnya, itu setara dengan 6,3 kg urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg MoP, dan 4,9 kg kieserit. Artinya, sebanyak itu pula unsur hara yang harus kita kembalikan ke tanah. Namun, meski kontribusinya cukup besar dalam proses produksi, realisasi pemupukan yang terjadi di lapangan tidak selalu tepat, baik dalam hal dosis, jenis, waktu, maupun caranya.
Witjaksana Darmosarkoro, Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, menjelaskan, “Seharusnya ada pertimbangan mengenai status hara daun, realisasi produksi, sejarah realisasi pemupukan sebelumnya, curah hujan, hingga gejala defisiensi hara sebelum memupuk.” Penentuan dosis pupuk yang tidak sesuai dengan berbagai pertimbangan itulah yang menjadikannya tidak tepat jenis.
Sesuai tujuan pemupukan yang disampaikan Achmad. “Target aplikasi pupuk 100% di lapangan dengan cara aplikasi yang benar, waktu pemupukan yang tepat, serta setiap tanaman memperoleh jumlah pupuk yang sesuai dosis yang ditetapkan dalam rekomendasi,” ungkapnya.
Tidak hanya itu. Pemupukan juga harus menjamin kecukupan hara tanaman agar tercapai kecepatan pertumbuhan maksimum bagi Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan produksi yang tinggi untuk Tanaman Menghasilkan (TM), serta penting untuk memperbaiki atau mempertahankan kesuburan tanah sehingga produktivitasnya yang tinggi tetap berkesinambungan.
Manajemen pemupukan yang tepat juga akan meminimalkan risiko kehilangan pupuk akibat penguapan atau pencucian. Contohnya, pupuk sumber N seperti urea dan ZA, dianjurkan menggunakan sistem pocket atau dibenamkan ke dalam tanah karena sifatnya yang mudah menguap. Selain itu, pemupukan saat puncak musim hujan juga tidak dianjurkan karena pupuk justru akan hilang tercuci. Kehilangan pupuk akibat penguapan atau pencucian tentunya akan menambah biaya karena harus melakukan pemupukan ulang.
Witjaksana menegaskan, kebijakan pemupukan kelapa sawit saat ini sangat mempengaruhi hasil tanaman tahun-tahun berikutnya. “Sewaktu harga TBS atau CPO merosot, pekebun perlu menerapkan alternatif strategi pemupukan yang tepat. Alternatif ini meliputi upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pemupukan, pemilihan jenis pupuk, skala prioritas pemupukan, dan inovasi pemupukan yang semakin efektif dan efisien,” tuturnya.
Hemat Pupuk Kimia
Keseimbangan dalam pemupukan, tidak hanya memberikan makanan bagi tanaman, tetapi juga memberi nutrisi pada tanah sehingga ujung-ujungnya meningkatkan efisiensi. Dwi Sutanti, Direktur Utama PT Bio Industri Nusantara, memaparkan, keseimbangan antara pupuk kimia dan pupuk organik sangat penting bagi sawit. “Sawit ‘kan yang diambil itu buahnya yang besar. Itu membutuhkan makanan yang banyak. Kalau hanya mengandalkan bahan organik, kandungan unsur haranya kecil, tetap harus ditambahkan pupuk kimia,” urai produsen pupuk dan biofungisida di Bandung, Jawa Barat ini.
Pupuk organik baik dalam memperbaiki struktur tanah. Struktur tanah yang baik, tidak terlalu padat, dan dapat mengikat unsur hara dengan baik. Tanaman yang ditanam pada tanah berstruktur baik akan semakin mudah menyerap unsur hara, baik yang tersedia di tanah maupun yang diberikan melalui pemupukan. Walhasil, untuk memenuhi kebutuhan tanaman, pupuk kimia yang ditambahkan tidak terlalu banyak. Tanti, sapaan akrabnya, membenarkan. Menurutnya, aplikasi pupuk organik selain memperbaiki struktur tanah, juga akan mengurangi penggunaan pupuk kimia sekitar 20%-45%.
Begitu pula dengan unsur mikro. Unsur mikro seperti Fe, Mn, Mo, B, Cu, Zn, dan Cl yang cukup, selain menyeimbangkan hara tanah, juga akan menghasilkan tandan buah yang terisi penuh dan kadar minyak sawit yang tinggi. Seperti pupuk organik, pupuk mikro pun dapat menghemat penggunaan pupuk makro bahkan hingga 70%.
Satu lagi yang dapat dilakukan untuk menghemat biaya pemupukan, yaitu dengan memanfaatkan hasil samping pabrik kelapa sawit (PKS) berupa janjang kosong, solid basah, dan limbah cair atau efluen (baca juga: “Rupiah dari Aplikasi Limbah”). Biaya pemupukan yang bisa dihemat dengan aplikasi produk sampingan ini mencapai Rp1,5 juta-Rp2 juta/ha. Belum lagi dengan kenaikan produksi TBS sekitar 10%.
Pemupukan berimbang tidak hanya berdampak pada pengurangan biaya pemupukan, namun juga bisa mengurangi biaya aplikasi pestisida. Pemupukan berimbang akan menghasilkan tanah yang sehat dan tanaman yang kuat. Kedua kombinasi ini akan menjadi benteng yang baik penolak serangan hama penyakit sawit. Peningkatan produksi dan produktivitas pun akan semakin mudah mendekati targetnya.
Renda Diennazola