Minggu, 23 Juni 2013

LIPUTAN KHUSUS : Rupiah dari Aplikasi Limbah

Aplikasi hasil samping pabrik kelapa sawit (PKS) berupa janjang kosong, solid basah, dan limbah cair (efluen) di kebun dapat mengirit biaya pemupukan dan mendongkrak produksi kelapa sawit.

Kabar baik ini diutarakan Ir. Joko Kuwato, M.Si, Asisten Manajer R & D PT Sarana Inti Pratama (SAIN) dalam forum Pertemuan Teknis Kelapa Sawit (PTKS) di Jakarta Convention Centre beberapa waktu lalu. Menurut Joko, “PKS menghasilkan limbah dalam jumlah yang cukup besar. Kalau tidak ditangani dengan bijak akan menjadi sumber pencemar bagi lingkungan sekitar. Menangani limbah PKS terutama efluen hingga memenuhi syarat peraturan lingkungan untuk dapat dilepas ke badan sungai memerlukan biaya yang sangat mahal. Karena itu dicari alternatif pemanfaatannya sebagai input kembali bagi kelapa sawit, jadi ada daur ulang (recycle).”

Masih Kaya Hara

Komposisi hasil samping (by-products) PKS, lanjut lulusan Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, angkatan 1983 dan S2 Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini, terdiri dari janjang kosong (JJK) sebanyak 23%, solid basah 4%, dan efluen 50%. Mengutip hasil penelitian Gurmit Singh, dalam JJK sebanyak 1 ton terkandung urea 7 kg, rock phosphate (RP) 2,8 kg, muriate of phosphate (MOP) 19,3 kg, dan kieserit 4,4 kg.  Sementara solid basah juga masih menyimpan hara yang sama, masing-masing sebanyak 9, 4, 10, dan 8 kg. Sedangkan efluen dengan Biological Oxygen Demand (BOD) 1.000 – 3.000 ppm pun mengandung nitrogen (N) 800 ppm, fosfor (P) 125 ppm, kalium  (K) 1.800 ppm, dan Mg  200  ppm.

Tentu saja sayang bila hasil samping tersebut dibuang begitu saja. Joko menuturkan, dahulu pemanfaatan JJK ditebar di atas tanah hanya sebatas mulsa, tapi sekarang menjadi sumber pupuk organik. “JJK dibawa langsung dari pabrik ke kebun. Nunggu dingin, terus ditabur. Kalau menaburnya dengan cara manual, JJK ditaruh di antara pokok di dalam barisan sebanyak 300-400 kg per tumpuk/titik aplikasi menggunakan angkong. Tumpukan JJK tidak boleh lebih dari satu lapis, sebab kalau lebih dari satu lapis dapat dipergunakan oleh Oryctes (kumbang tanduk) sebagai breeding site (tempat berbiak). Padahal Oryctes merupakan hama bagi tanaman kelapa sawit,” jelasnya.

Tumpukan JJK ini dibiarkan melapuk sendiri tanpa penambahan bakteri komersial. Aplikasinya setahun sekali. Disarankan, waktu aplikasinya dilakukan pada bulan yang sama sehingga siklusnya konsisten.  Aplikasi JJK secara mekanis menggunakan alat penyebar JJK (empty bunch spreader). JJK ditempatkan di gawangan hidup atau pasar pikul, lebarnya 1,2 meter. Dalam waktu satu tahun, JJK ini juga habis terurai.

Sementara dosis solid basah 100-200 kg per pokok. Bila JJK dan solid basah dicampur, dosisnya masing-masing 200–275 kg dan 100-200 kg per pokok.

“Selain sebagai amelioran (memperbaiki) struktur tanah, by-products ini akan meningkatkan cadangan air dan membuat tanah mengikat air lebih bagus. Haranya juga bisa dimanfaatkan oleh tanaman,” lanjut pria yang sudah berkarya di PT SAIN sejak 1990 ini. Paling bagus, aplikasi pupuk ini di tanah berpasir (marginal) sehingga peningkatan kualitas tanahnya kelihatan nyata. Aplikasi tidak dianjurkan pada tanah gambut karena hasilnya tidak terlihat nyata.

Di samping memperbaiki tanah, aplikasi hasil samping menghemat biaya pemupukan. “Selisihnya sekitar Rp1,5 juta - Rp2 juta/ha lebih murah daripada pupuk kimia standar kebun. Itu kita belum menghitung kenaikan produksi. Kenaikan produksi tandan buah segar sekitar 10%,” urai Joko lagi.

Berdasarkan uji coba di lapangan, pemanfaatan efluen yang dosisnya mencapai 750 ton/ha/tahun sangat tidak efektif. Cairan ini dialirkan ke kebun yang konturnya miring ke bawah melalui kotak-kotak terputus-putus yang disebut flatbed. “Hitung-hitung, jatuhnya tiap pokok mendapat pupuk N hingga 10 kg dan MOP yang mahal itu hingga 17 kg, sementara jika akan mengurangi dosis efluen sangat sulit untuk mendapatkan areal yang memenuhi syarat” cetus Joko. Karena itu pihaknya mencoba mengomposkan ketiga macam limbah tersebut bersamaan. Menurutnya, dengan melakukan pengomposan, tidak terjadi kehilangan energi berupa unsur hara (melalui infiltrasi dan perkolasi) seperti pada aplikasi efluen secara langsung.

Dikomposkan Lebih Untung

Untuk mengomposkan ketiga jenis hasil samping itu secara bersamaan memang perlu waktu dan instalasi khusus buat proses pengomposan supaya dapat diaplikasikan ke tanaman. Selain itu juga dibutuhkan alat pembalik kompos berukuran besar. Lama waktu pengomposan, menurut perkiraan Joko, sekitar 30–40 hari.

Memang sampai saat ini, pihaknya belum menghitung persis berapa nilai tambah aplikasi kompos tersebut. Namun, dugaannya, luas wilayah aplikasi di kebun yang tadinya hanya 13% dengan JJK plus solid basah dan 1% menggunakan limbah cair, dapat meningkat sampai 30%.

Bila cakupan pemupukan organik tersebut bertambah luas, maka penghematan pupuk anorganiknya pun semakin banyak. Apalagi, “Dosis pemupukan yang tadinya 300-400 kg/pokok bisa lebih rendah, hanya 100 kg/pokok,” sambung Joko. Walhasil, biaya pemupukan jauh terpangkas. Ini jelas kabar baik ketika harga pupuk kian melambung.

Dalam pelaksanaannya di kebun, ada hal yang perlu digarisbawahi agar nilai tambah hasil samping itu bisa dinikmati. “Organisasinya harus baik, orang-orangnya harus commit semua. Soalnya, ini ‘kan menyangkut pergerakan material yang besar. Sekali ada masalah di transpor, putus. Kekurangan transpor, masalah. Kurang tenaga aplikasi, janjangnya numpuk. Jadi, nggak boleh meleset di satu bagian pun,” saran Joko.

Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, aplikasi hasil samping PKS ini harus menjadi bagian integral dari program pemupukan secara keseluruhan. Selain itu, seluruh hasil samping diaplikasikan ke pertanaman kelapa sawit dengan sistem yang tepat guna.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain