Tingginya kadar garam (salinitas) air tambak bukan lagi halangan bagi petani udang di Desa Karanganyar, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, untuk memelihara udang.
Dengan bantuan penguatan modal dari Ditjen Perikanan Budidaya, Dpartemen Kelautan dan Perikanan, para petambak mendapatkan sarana produksi perikanan (saprokan) yang diperlukan, termasuk pompa air untuk menyuplai air tawar ke dalam tambak. Masuknya air tawar ke dalam tambak menurunkan salinitas air tambak sampai 55 promil sehingga layak untuk budidaya udang Vanname.
Vanname Gantikan Windu
Kabupaten Indramayu yang terletak di pantai utara jawa (pantura) mempunyai iklim yang ekstrem, yakni sangat kering sewaktu musim kemarau terutama setelah fenomena El Nino menerpa wilayah ini.
Pada musim tersebut, “Tambak sudah tidak bisa lagi ditanami udang windu karena salinitasnya terlalu tinggi,” ujar H. Juhadi, petambak udang yang juga Ketua Kelompok Pembudidaya Udang Jasa hasil Windu, di Desa Karanganyar, kepada AGRINA.
Menurut pengalaman Juhadi, udang windu yang dipelihara dalam air bersalinitas tinggi tidak dapat berkembang dan seringkali mati setelah ganti kulit (moulting).
Pada era 1996—1997, petambak di wilayah ini beralih total ke sistem budidaya polikultur, yakni memelihara udang windu dan bandeng secara bersamaan. Namun, ketika kemarau petambak hanya bisa memelihara bandeng, sebab udang windu tidak mampu bertahan.
Berbeda dengan windu, Vanname lebih tahan terhadap salinitas tinggi sehingga bisa diproduksi pada musim kemarau sekalipun. Untuk mencapai peningkatan produksi udang, tak ada jalan lain kecuali melalui pergeseran dari udang windu ke udang Vanname. Petambak diharapkan mulai mengadopsi teknologi budidaya udang Vanname.
Endhay K. Kusnendar, Direktur Bina Produksi dan Usaha, Dirjen Perikanan Budidaya, DKP, menjelaskan, usaha budidaya Vanname membutuhkan biaya besar, sekitar Rp23.000/kg.
Tanpa pinjaman modal, sulit bagi petambak udang di daerah Indramayuu untuk mulai berusaha. Karena itu, pemerintah pusat memberikan pinjaman dalam bentuk penguatan modal kepada mereka senilai Rp1,439 miliar.
Sekali Panen Untung
Kelompok Pembudidaya Udang (KPU) Jasa Hasil Windu dan Vanname Jaya yang terdiri dari 20 orang dengan total luas 30 ha tambak mendapat kucuran kredit tersebut. “Tujuh orang mendapat paket penguatan modal tambak udang semi intensif yang nilainya sekitar Rp90 juta/orang dan seorang lagi mendapat penguatan modal tambak udang tradisonal senilai Rp35 juta,” ujar H. Juhadi.
Salah satu petambak yang mendapatkan kredit tersebut adalah Sadi. “Saya sedang mencoba membudidayakan udang Vanname secara tradisional sebagai pengganti udang windu,” katanya. Di tambaknya yang seluas 2 ha, ia menebar 224.000 ekor benur.
Setelah empat bulan pemeliharaan, ia memprediksi dapat memanen sekitar 4 ton udang ukuran 50 ekor/kg (size 50). Jika harga udang Rp35.000/kg, maka ia mengantongi Rp140 juta. Dikurangi biaya produksi sebesar Rp70 juta, dalam satu periode ia memperoleh keuntungan sebanyak Rp70 juta/2 ha/musim tanam.
“Dengan hasil tersebut, sebenarnya petambak udang Vanname sudah mendapatkan keuntungan dan dalam dua kali panen dapat mengembalikan pinjaman,” jelas Endhay. Namun, menurutnya, pemerintah memberi kelonggaran kepada petambak hingga empat kali musim tanam untuk mengembalikan kreditnya dengan bunga 6% per tahun.
Persiapan Seperti Intensif
Sejatinya, udang Vanname mulai dikenal oleh petambak di wilayah Indramayu sekitar tahun 2000. H. Juhadi adalah salah seorang pelopor budidaya udang Vanname di wilayah tersebut.
Sayangnya, Vanname yang dipelihara dengan sistem tradisional terkena penyakit saat berumur satu bulan.
Juhadi pun menyadari, dukungan maupun persiapan budidaya kala itu masih belum baik karena pola pikir petambak masih mengacu pola budidaya udang windu.
Menurutnya, “Persiapan budidaya udang Vanname itu harus sungguh-sungguh, walaupun tradisional persiapannya seperti intensif,” jelasnya.
Jika budidaya udang windu tradisional hanya memerlukan pengeringan tanah dasar tambak dan pengapuran, tidak demikian dengan budidaya udang Vanname. “Untuk mengubah dari tradisional windu ke tradisional Vanname ‘kan perlu proses, perlu waktu, dan penyadaran masyarakat,” ujar petambak yang juga bapak angkat sejumlah petambak di Kabupaten Indramayu.
Dengan adanya program penguatan modal ini, petambak bukan saja terbantu pendanaannya tetapi juga dalam hal teknis budidaya Vanname.
Untuk menghindari kegagalan budidaya, program ini dikawal oleh tenaga pendamping yang ditunjuk oleh pusat dan daerah, yakni tenaga pendamping teknologi (TPT) pusat dan tenaga pendamping teknologi (TPT) daerah.
Enny Purbani T.